Badai Laut Selatan (2 of 98)

Hari sudah menjelang senja lagi, ketika udara mendadak menjadi mendung. Awan hitam berkumpul dari atas darat menuju ke atas laut. Geledek menyambar-nyambar diseling kilat berkeredepan. Gemuruh suara halilintar menyaingi gemuruh ombak memecah di batu karang.

Lambat-laun air laut makin tenang dan deburan ombak tidak keras lagi menghantam karang. Seolah-olah, air laut dengan ombaknya menyatakan takluk dan kalah terhadap guruh di angkasa, mengakui kekuasaan angkasa, yang dapat merubah keadaan laut.

Tak jauh dari Gua Siluman, dekat Gua Leter, di bagian pantai yang datar dan tertutup pasir halus, ombak tak tertahan karang dan selalu mengalir sampai ke pasir. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar air bergolak disusul suara wanita tertawa, suaranya merdu. Lalu, tampaklah makhluk bergerak-gerak di permukaan air, seakan-akan menunggang ombak yang menuju ke pasir. Dari jauh makhluk itu kelihatan berambut panjang dan seperti menerkam sesuatu, akan tetapi setelah makin dekat dengan pantai, tampaklah bahwa ia adalah seorang wanita yang cantik berkulit kuning bersih, rambutnya panjang sampai ke kaki.

Wanita ini usianya tentu sudah tigapuluh tahun lebih, namun benar-benar amat cantik, wajahnya berseri-seri dan giginya amat putih berkilauan di kala sinar kilat menerangi permukaan air laut itu. Ia memang sedang menerkam sesuatu, akan tetapi menerkam dengan mesra atau memeluk tubuh seorang laki-laki muda tampan yang juga tertawa-tawa.

Wanita itu membawa si laki-laki berenang ke pantai, bukan berenang seperti manusia biasa, melainkan berenang seperti ikan. Tubuhnya yang ramping semampai itu dapat bergerak-gerak menggeliat seperti ikan berenang, akan tetapi amat cepat tubuhnya maju. Laki-laki itu sebaliknya, tidak pandai berenangi, buktinya ia selalu berusaha menaikkan kepalanya ke permukaan air sambil merangkul leher si wanita.

Seekor lkan hiu besar, sebesar manusia, berenang cepat menghampiri, agaknya tertarik oleh mahluk-mahluk aneh ini Akan tetapi setelah dekat, tiba-tiba hiu itu menghentikan renangnya, mundur-mundur karena takut.

''Bibi…. Ikan besar itu…” tiba-tiba, si lelaki berseru ketakutan dan merangkul si wanita makin erat.

Wanita itu dengan gerakan luar biasa cepatnya sudah memutar tubuh di dalam air, mukanya yang cantik tiba-tiba menjadi murka.
''Bedebah! Berani kau menggangguku?'' bentaknya, tubuhnya meluncur di air cepat sekall, tangan kirinya menyeret laki-laki itu dan tangan kanannya mengayun sebuah cundrik (keris) yang tepat menghantam perut ikan hiu itu dan sekali menyontekkan tangan, perut itu pecah dan ususnya keluar. Ikan itu lari kesakitan dan ketakutan, namun hukum laut yang sama dengan hukum rimba menimpanya.

Tak lama kemudian, ia menjadi mangsa ikan-ikan lain yang berpesta pora atas daging dan isi perut. Wanita, itu tertawa bergelak, lalu meluncur lagi ke pantai. Mereka, bergulingan di atas pasir seperti orang bergumul sehingga tubuh mereka kotor semua oleh pasir. Sambil bercumbu wanita itu tertawa-tawa. Akhimya, lelaki muda itu melepaskan diri dari pelukan kedua lengan halus dan rambut panjang, lalu bangkit berdiri dan berkata, 'Cukuplah, Bibi. Kita sudah bersenang-senang selama tiga hari di sini. Kalau Ni-guru Durgogini tahu….”

"Hi-hi-hik, kalau dia tahu, mengapa? Kau yang akan dibunuhnya lebih dulu, sedangkan aku...? belum tentu, Mbakyu Durgogini mampu mengalahkan aku!'' Ia meraih lagi dan hendak mencium muka yang tampan itu.

Akan tetapi pemuda itu menolak dengan kedua tangannya, mendorong dada padat yang tertutup tapih pinjung (kain sedada).
''Sudahlah, Bibi, lihat udara mendung, hampir hujan. Jangan-jangan badai mengamuk."

"Hi-hik,, Cah bagus. Siapa takut badai?''

"Kau tidak takut, akan tetapi aku takut. Bibi guru yang manis, aku sudah mematuhi kehendakmu selama tiga hari. Mana pusaka yang bibi hendak hadiahkan kepadaku? Aku hendak pergi dari sini, berlindung semalam dalam gua dan besok akan kembali ke Selopenangkep.''

Wanita itu tertawa, lalu menarik napas panjang.
''Baiklah, Raden, kau sudah menyenangkan hatiku selama tiga hari. Pusaka yang hendak kuberikan kepadamu bukanlah sembarang pusaka. Ilmu pukulan yang kuajarkan kepadamu selama tiga hari ini sudah dapat kau lakukan dengan baik, akan tetapi tanpa pusaka ini, ilmu pukulan Tirto Rudiro (Air Darah) itu takkan sempuma. Di samping itu, kaupun harus tekun berlatih selama duapuluh satu hari dengan pantangan, tidak boleh makan daging dan tidak boleh bergaul dengan wanita!''

Setelah berkata demikian wanita itu lalu mengeluarkan sebuah rumah kerang yang berwama merah kepada pemuda itu. Pemuda itu menerimanya dengan girang, lalu berkata, ''Terima kasih atas kebaikan hati Bibi guru. Aku akan selalu mentaati perintah dan kehendak Bibi.''

''Hi-hik, Cah bagus. Kau tunggu saja sewaktu-waktu aku akan ajak kau bersenang-senang sampal puas. Kau tunggu saja panggilanku bagusl'' la membelai dagu pemuda itu yang ditumbuhi rambut halus, kemudian katanya, “Sekarang, pergilah. Malam nanti, badai Laut Selatan akan mengamuk. Sampai jumpa!'' Setelah berkata demikian, wanita itu lalu melempar diri ke dalam ombak yang datang ke pantal dan sebentar kemudian ia sudah lenyap, ditelan ombak.

Pemuda tampan itu menggenggam Kerang Merah lalu melompat-lompat ke atas batu karang. Ia memandang ke angkasa yang makin gelap. Tidak baik melakukan perjalanan malam ini, pikimya. Lebih baik malam ini mengaso di Gua Siluman dan besok pagi-pagi baru naik ke atas dan pulang ke dusun Selopenangkep.

Dengan gerakan sigap, pemuda itu terus berloncatan darl batu ke batu menuju ke Gua Siluman. Pemuda ini adalah Raden Wisangjiwo, putra tunggal bekas Adipati Joyowiseso yang tadinya menguasai pantai Laut Selatan. Setahun yang lalu, yaitu pada, tahun 1031 ketika Kerajaan Mataram di bawah pemerintahan Raja Airlangga (1019-1049) mengirim pasukan untuk menundukkan seluruh wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, daerah Pantal Selatan inipun dilanda perang. Adipati Joyowiseso mengadakan perlawanan hebat, namun tak kuasa menghadang penyerbuan bala tentara Mataram yang kuat dan dipimpin panglima-panglima yang sakti mandraguna dan pandai, sehingga akhirnya terpaksa menyerah.

Betapapun juga, seperti di daerah lain, Adipati Joyowiseso inipun tidak dihukum, bahkan diberi kedudukan kembali sebagai adipati di pantai Laut Selatan. Akan tetapi ia sekarang merupakan orang taklukan atau sebagai punggawa dari Kerajaan Mataram di timur, siap mentaati segala perintah yang dipertuan Raja Airlangga. Selain menjadi putera orang tertinggi kedudukannya di pedusunan pantai selatan, juga Raden Wisangjiwo menjadi murid terkasih seorang pertapa wanita yang sakti mandraguna, yang oleh manusia biasa dianggap sebagai siluman atau peri penjaga gunung dan hutan-hutan, kadang-kadang saja memperlihatkan diri kepada umum. Datang dan perginya seperti iblis yang pandai menghilang. Tak seorangpun di daerah Laut Selatan berani menyebut namanya secara terbuka, sebuah nama Yang membuat bulu tengkuk berdiri, membuat orang menggigil ketakutan, sebuah nama yang sekali didengar sukar dilupa, yang juga amat terkenal sampai jauh di luar wilayah pantai selatan.

Para pertapa, para ksatiria, para jagoan mengenal belaka nama ini, Ni Durgogini. Karena gurunya seorang wanita sakti yang luar biasa, sudah tentu saja Raden Wisangjiwo juga memiliki kesaktian yang sukar dilawan. Ketika terjadi perang melawan tentara Kerajaan Mataram setahun yang lalu, banyaklah perwira dan tamtama Mataram binasa di ujung keris dan kepalan tangannya. Biarpun akhimya perlawanan ayahnya patah dan mereka harus mengakui keunggulan bala. tentara Mataram, namun Raden Wisangjiwo tidak sampai pemah dirobohkan atau tertawan.

Sayang seribu kali sayang, pemuda rupawan yang sakti ini, agaknya terlalu dimanja oleh orang tuanya, seperti lazim terjadi pada keluarga bangsawan. Agaknya karena terialu manja inilah yang membentuk watak tinggi hati, sombong, tak pemah mau kalah, dan lambat-laun watak ini membentuk pula sifat-siiat kejam, curang, dan hendak berkuasa sendiri, tak pemah mau menghiraukan perasaan atau pendapat orang.

Raden Wisangjiwo terkenal sebagai seorang pemuda berandalan yang bengis tidak ada yang berani menentangnya. Mungkin sekali, biarpun dimanja ia takkan sampai tersesat sedemikian jauhnya kalau saja ia tidak menjadi murid Ni Durgogini, seorang wanita yang berwatak iblis. Watak gurunya ini tentu saja sedikit banyak menurun pula kepadanya.

Pertama-tama, begitu pemuda ganteng ini menjadi murid Ni Durgogini iapun merangkap menjadi kekasih gurunya. Tidaklah terlalu aneh kalau orang tahu bagaimana macamnya manusia iblis Ni Durgogini itu. Seorang wanita yang cantik dan genit, yang tak pernah dapat diterka berapa usianya akan tetapi kelihatan masih muda, kurang tiga puluh, dan di antara sekian banyak ilmu-ilmunya yang mujijat, ia memiliki pula ilmu guna-guna yang disebut Guno Asmoro. Tidaklah mengherankan apabila Raden Wisangjiwo yang memang berjiwa lemah ini hanyut dan mentaati kehendak kotor gurunya dengan gembira. Namun, sikapnya yang pandai melayani gurunya ini menguntungkan Raden Wisangjiwo, karena gurunya makin sayang kepadanya dan menurunkan pelbagai ilmu simpanan yang hebat-hebat.

Ni Durgogini mempunyai seorang adik seperguruan, yang juga amat terkenal, terutama sekali oleh para nelayan dan bajak. Adapun penduduk pantai dan para nelayan malah menganggap bahwa ia adalah Dewi Roro Kidul yang menguasai Laut Selatan. Betapa orang takkan menyangka demikian kalau menyaksikan seorang wanita cantik dengan rambut terurai panjang, bermain-main di antara ombak laut bagaikan seekor ikan saja lincahnya. Akan tetapi, seperti juga halnya Ni Durgogini, wanita cantik jelita yang bemama Ni Nogogini ini, membuat orang menggigil kalau mengingatnya.

Selain sakti, juga Ni Nogogini berwatak iblis, mudah sekali menjatuhkan tangan saktinya membunuh orang tanpa sebab. Mudah sekali menyerbu golongan-golongan lain untuk mengacau dan membunuh. Kalau Ni Durgogini dianggap sebagai iblis betina hutan dan gunung, maka Ni Nogogini ini adalah iblis betina sungai dan Laut Selatan.
Sebagaimana dapat kita duga dari adegan di pantai tadi, Ni Nogogini pun mempunyai penyakit yang sama dengan penyakit kakak seperguruannya, yaitu gila laki-laki dan cabul. Bibi guru ini melihat murid keponakannya dan tidak mau melewatkan kesempatan untuk menggodanya. Raden Wisangiiwo memang tampan dan gagah, juga amat cerdik. Tentu saja ia tidak menolak godaan bibi gurunya yang biarpun kulitnya tidak seputih dan sehalus kulit tubuh gurunya, namun memiliki kecantikan khas, dan pula memiliki bentuk tubuh yang lebih indah dan padat kalau dibandingkan dengan gurunya, karena agaknya kebiasaan bermain di air dan renang itulah yang membuat ia memiliki bentuk tubuh yang amat baik. Di samping ini, iapun sudah maklum akan keganasan watak bibi gurunya sehingga kalau ia menolak, amatlah berbahaya. Oleh karena ini, maka ia melayani bibi gurunya, bermain asmara sampai tiga hari di pantai, kadang-kadang Raden Wisangjiwo harus mandah dibawa ke tengah laut dipermainkan sesuka hati bibi gurunya. Namun, ia tidak bodoh dan kesempatan ini ia pergunakan untuk minta upah berupa ilmu kesaktian dan pusaka. Dan bujukannya berhasil sehingga ia diberi pelajaran ilmu pukulan Tirto Rudiro yang ampuh bersama pusaka Kerang Merah.

Demikianlah, dengan hati gembira karena mendapatkan ilmu dan pusaka, juga karena akhirnya ia dapat terlepas dari pelukan bibi gurunya yang mulai membosankan itu, Raden Wisangjiwo berlompatan menuju ke Gua Siluman. Ketika akhimya ia dapat melompat sampai ke mulut guha, ia berdiri bagaikan patung dengan mata terbelalak lebar memandang ke dalam gua. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka, hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Di bawah sinar matahari senja yang keemasan, ia melihat sebuah patung sebesar manusia, patung seorang dewi kahyangan yang bertubuh keemasan, rambut terurai, bertelanjang bulat, cantik jelita tanpa cacad. Akan tetapi, patung itu bemapas. Dada yang indah bentuknya itu bergerak perlahan.

''Demi Ratu Lelembut!'' Tak terasa lagi mulut Raden Wisangjiwo berseru penuh kekaguman dan keheranan.

Seruan penuh nafsu ini cukup untuk membuat Pujo dan Kartikosari tersentak kaget, seakan-akan semangat mereka disendal memasuki alam kesadaran kembali. Otomatis Kartikosari menggerakkan tangan menyambar kain di sebelahnya dan menutupi tubuhnya dengan kain, mengikat ujungnya erat-erat di atas dada, matanya berkilat marah ketika ia melihat seorang laki-laki muda berdiri di mulut gua, menelannya dengan pandang mata lahap. Pujo juga cepat melompat berdiri dan berseru keras ketika mengenal orang yang datang itu.

''Raden Wisangjiwo! Benar-benar tidak sopan mengganggu orang bersamadhi, apalagi jika suami istri bersamadhi bersama!"

Raden Wisangjiwo juga sadar daripada pesona yang menggairahkan hatinya, membalikkan tubuh memandang penegumya. la tertawa mengejek, lalu bertolak pinggang.

“Aha, kiranya engkau ini, Pujo? Dan dia istrimu? Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali. Sudah lama aku ingin berhadapan dengan seorang laki-laki pengecut macam engkau, kiranya para dewata mengabulkan pengharapanku."

Pujo mengenal baik siapa Raden Wisangjiwo. Taat akan kehendak gurunya, ia memang selalu menjauhkan diri dan tidak mencampuri urusan putera adipati ini, maka tak pemah antara dia dan putra bangsawan itu terdapat sesuatu hal. Mengapa, kini ia dimaki pengecut dan sudah lama dicari?

''Raden Wisangjiwo jalan hidupmu clan jalan hidupku seperti jalannya air dan asap, tak pemah dapat bertemu. Mengapa kau datang-datang memaki aku dan ada keperluan apa kau hendak bertemu denganku?'' tanya Pujo sambil menyambar pakaiannya dan mengenakan pakalan sebelah bawah. Tubuh atasnya masih bertelanjang.

''Hua-ha-ha-haha...masih pura-pura bertanya? Tidak merasa betapa kau seorang laki-laki pengecut dan penakut? Percuma saja kau mengaku murid Resi Bhargowo malah ehm menjadi mantunya, menikah dengan puteri Resi Bhargowo yang eh, begini denokl'' Matanya mengerling ke arah Kartikosari.

''Raden Wisangjiwo, harap jangan menggunakan ucapan kasar, tak patut didengar wanita. Katakan saja, mengapa aku kau anggap pengecut?''

Kini, pandang mata putra adipati itu melotot marah, kedua tangannya mengepal tinju.
''Benar-benar kau tidak merasa ataukah berpura-pura? Setahun yang lalu, daerah kita dilanda perang, diserbu oleh bala tentara dari Mataram. Semua laki-laki turun tangan membela tanah air, mengapa engkau tidak mau ikut membantu biarpun ramanda adipati memerintah dan mengirim utusan ke Sungapan? Bukankah kau tidak mau ikut berperang karena kau takut, karena kau pengecut?''

''Raden Wisangjiwo, harap kau simpan saja maki-makian kotor itu ke dalam mulutmu, di situ lebih cocok daripada dihambur keluar membusukkan udara! Kami memang tidak berangkat membantu, aku dan para cantrik, juga isteriku yang di kala itu masih menjadi adik seperguruanku, karena dilarang oleh bapa resi. Kami harus tunduk dan mentaati perintah guru, apapun yang terjadi. Bapa resi menyatakan bahwa tak mungkin dilawan kekuasaan dari Mataram karena memang sudah semestinya semua daerah di bawah kekuasaan Mataram. Sama sekali bukan karena takut!''

''Hemmm, alasan kosong! Karena mengingat bahwa Res! Bhargowo sudah lanjut uslanya, maka, aku tidak menyalahkannya. Dan karena memandang wajah Resi Bhargowo maka aku tidak mau mencari kau dan membikin ribut di Sungapan.'' Ia melirik kembali ke arah Kartikosari untuk menandaskan bahwa dia tidak mau bermusuh dengan ayah wanita jelita ini. ''Akan tetapi engkau yang masih muda dan kuat, hemmm, tak mungkin aku memaafkanmu begitu saja''

Biarpun Pujo sudah menerima gemblengan lahir batin dari gurunya, namun darah muda masih mengalir di tubuhnya dan hawa panas yang naik dari dalam hatinya membuat kepalanya panas pula.

''Raden Wisangjiwol Dengan mencela mereka yang tidak ikut berperang, kau seakan-akan hendak mengagungkan dirimu sendiri yang menentang Mataram. Akan tetapi bagaimana. buktinya sekarang? Ayahmu dan kau menakluk kepada Mataram, dan rela menjadi abdi Mataram? Itukah yang kau anggap kegagahanmu?''

''Tutup mulutl Bersiaplah engkau!''

Pujo, juga. mengepal tinju.
''Kau mau apa?''

Raden Wisangjiwo sudah hendak menerjang maju, akan tetapi ia mendengar betapa wanita jelita itu menahan napas, lalu ia mengerling dan tersenyum.
''Pujo, isterimu cantik bukan main. Keluarlah kau dari gua ini dan biarkan aku bercakap-cakap dengan isterimu. Biarkan dia mengawaniku semalam ini di gua, karena aku hendak bermalam di sini. Dan besok pagi kuampuni kesalahanmu yang dahulu.''

''Jahanam!''

Teriakan ini bukan keluar dari mulut Pujo melainkan keluar dari mulut Kartikosari yang sudah menerjang dari belakang dengan pukulan yang disebut Gelap Musti (Tinju Petir).

"Nimas jangan bunuh orang!"

Pujo berseru kaget dan melompat ke depan. Orang muda ini memang sudah mendalami wejangan guru dan ayah mertuanya, maka sifat welas asih selalu menyelubungi lubuk hatinya. Betapapun marahnya mendengar ucapan kotor dan kurang sopan dari Raden Wisangjiwo terhadap istrinya, namun melihat istrinya mempergunakan pukulan gledek yang ampuh bukan main itu, ia merasa terkejut dan hendak mencegah.

Terlambatl Pukulan Gelap Musti memang hebat bukan main, batu karang hancur sekali pukul, apa lagi tubuh manusia biasa. Namun, Raden Wisangjiwo bukanlah manusia biasa. Dia murid terkasih seorang manusia iblis yang tentu saja tidak dapat dipersamakan manusia biasa. Ketika pukulan dari arah belakangnya ini menyambar, mendatangkan hawa panas seperti lahar cepat ia membalikkan tubuh dan mendorong dengan kedua tangannya, tangan kanan menyambut pukulan dengan pengerahan tenaga sakti dan dengan gerakan ilmu pukulan Tirto Rudiro yang baru saja ia pelajari dari bibi gurunya, Ni Nogogini.

Memang Kerang Merah berada di tangan kanan, maka otomatis ia menggunakan pukulan ini. Perlu diketahui bahwa ilmu pukulan Gelap Musti (Tinju Petir) adalah pukulan yang keras dengan penggunaan tenaga yang dikerahkan dari pusar yang membentuk api hidup maka jika dipergunakan mengeluarkan hawa panas yang dapat melebihi panasnya api biasa. Di lain fihak, sebagai kebalikannya, ilmu pukulan Tirto Rudiro yang dikeluarkan oleh Raden Wisangjiwo adalah pukulan yang berhawa dingin, sedingin air membeku akan tetapi karena ilmu ini hasil penciptaan Ni Nogogini yang hidupnya menjadi hamba nafsu dan menyimpang dari pada kebenaran terjerumus ke jalan sesat maka hasil penciptaan inipun adalah ilmu sesat (ilmu hitam). Andaikata yang mencipta ilmu ini seorang suci seperti Resi Bhargowo dan yang lain-lain, maka api yang bagaimana panaspun sekali terkena sambaran hawa pukulan ini tentu akan padam dan dingin. Akan tetapi ilmu ini sudah jauh menyimpang, biarpun pada dasamya menggunakan hawa yang timbul dari pusar juga, namun telah dicampur dengan hawa beracun, terutama sekali setelah dicampur dengan khasiat pusaka Kerang Merah. Pukulan ini selain dapat membekukan darah, juga dapat menyebar hawa beracun yang menyusup ke dalam tubuh lawan yang terpukul!

''Dessss!''

Kedua lengan yang disaluri hawa yang bertentangan itu bertemu hebat. Raden Wisangjiwo terkejut sekali karena merasa betapa hawa panas seperti lahar menyerap ke dalam lengan kanannya. Hal ini menandakan bahwa hawa saktinya kalah kuat dan kalah latihan dalam penggunaan ilmu pukulan. Maka, cepat-cepat ia menggunakan tangan kirinya yang sudah siap tadi untuk melanjutkan rencananya yang sejak tadi sudah ia persiapkan. Begitu jari-jari tangannya bergerak dan secepat kilat menyentuh pundak kiri Kartikosari murid Ni Durgogini yang licik dan cerdik ini sudah menggunakan ilmu pemberian gurunya, ilmu sesat yang hanya digunakan oleh manusia-manusia hamba nafsu) yaitu ilmu Asmoro Kingkin (Rindu Berahi). Jari-jari tangannya menyentuh jalan darah di pundak, diperkuat oleh penyaluran tenaga tidak sewajamya yang timbul dari mantra yang cepat ia ucapkan dengan gerak bibir yang tanpa suara.

Tentu saja Kartikosari terkejut. Tadinya wanita ini sudah merasa girang karena maklum bahwa ia menang kuat dalam pertemuan lengan, maka ia menjadi agak lengah, apa lagi karena tangan kiri lawan bergerak terlalu cepat menuju ke pundak, ia tidak sempat mengelak. Ia Ingin merobohkan lawan dengan tindihan tenaga Gelap Musti siapa kira setelah pundak dekat lehemya tersentuh jari tangan Raden Wisangjiwo, mendadak ia merasa betapa jantungnya berdenyutan, darahnya bergolak dan nafsu berahi mengamuk di benaknya.

Kartikosari terkejut dan berusaha melawan dorongan nafsu yang seperti ditimbulkan oleh iblis Ini, namun dengan usaha ini, ia harus mengerahkan hawa saktinya sehingga saluran hawa panas pada pukulan Gelap Musti di lengan menjadi habis daya. Inilah yang mencelakakan Kartikosari. Begitu hawa pukulan Gelap Musti membuyar.. ia terserang oleh hawa pukulan dingin dari dorongan ilmu pukulan Tirto Rudiro hawa dingin yang menyusup dari lengan menyerang isi dadanya. Kartikosari menjerit dan roboh terguling ke sudut gua.

''Wisangjiwo keparat, kau lukai istriku?'' Pujo marah sekali dan dengan gerakan kilat ia menerjang putra adipati itu. Namun, Raden Wisangjiwo sambil tersenyum mengejek sudah mengelak sehingga pukulan Pujo lewat di atas kepalanya.

Sambil mengelak kaki Raden Wisangjiwo melayang ke arah lambung kiri Pujo, disusul tamparan tangan kiri dengan jari terbuka. Hebat serangan ini karena yang diserang kaki adalah lambung kiri dan yang diancam tamparan tangan adalah leher, dua tempat yang apabila terkena dapat mendatangkan maut. Pujo yang merasa gelisah melihat isterinya pingsan, mengeluarkan ajiannya yang ia dapat dari guru dan ayah mertuanya, yaitu ilmu meringankan tubuh cepat Bayu Tantra (Gerak Angin) berkelebat cepat dan berhasil menghindarkan diri dari pada tendangan dan pukulan lawan. Kemudian, kembali Pujo membalas serangan lawannya yang sakti ini dengan pukulan Gelap Musti Seperti yang dilakukan istrinya tadi.

Tingkat kepandaian Pujo lebih unggul dari pada Kartikosari, maka penggunaan Gelap Musti ia menang setingkat, maka pukulannya ini tentu saja lebih hebat dari pada yang dilakukan Kartikosari tadi.

Raden Wisangjiwo terkejut. Tadi ia telah merasai kehebatan ilmu pukulan yang mengandung hawa panas lahar ini dari Kartikosari, maka, tentu saja !a tidak berani berlaku sembrono. Dengan geseran kaki ke kanan ia miringkan tubuhnya sehingga pukulan lawan tidak langsung menghantamnya, kemudian ia mengerahkan ajiannya untuk menyampok pukulan yang dahsyat itu dari samping, menggunakan ilmu barunya, pukulan Tirto Rudiro.

''Plakkk!''

Pukulannya tepat mengenai lengan Pujo dari samping. Menurut perhitungan, Raden Wisangjiwo menang posisi karena ia memukul dari samping. Akan tetapi kenyataannya adalah hebat. Begitu kepalan tangannya yang menggenggam Kerang Merah itu menghantam lengan Pujo, tubuh Raden Wisangjiwo serasa dibakar api nerakal la menarik tangannya dan oleh hawa pukulan lawan ditambah daya tariknya, tubuhnya mencelat ke belakang, menabrak dinding guha dan terbanting ke bawah. la mengerang kesakitan, akan tetapi sebagai murid manusia iblis yang sudah memiliki tubuh kebal, tentu saja pertemuan keras dengan batu karang itu tidak membuatnya luka Sambil menggereng marah ia melompat bangun lagi. Ketika mellhat Pujo menoleh ke arah isterinya yang masih pingsan, Raden Wisangjiwo lalu menyambar sebuah batu karang sebesar perut kerbau bunting di sebelahnya. Batu karang ini beratnya melebihi seekor kerbau bunting sendiri, namun dengan pengerahan tenaga. saktinya, ia dapat mengangkatnya dengan mudah ke atas kepala, lalu melontarkan batu besar itu ke arah kepala Pujo yang berdiri dalam jarak empat meter. Terdengar angin menguik ketika batu besar itu terbang melayang dengan cepat ke arah Pujo.

''Drrrrr'!'

Batu karang yang besar Itu hancur luluh dan pecah berhamburan ketika bertemu dengan pukulan ujung-ujung jari tangan Pujo. Hebat dan dahsyatnya bukan kepalang gerakan orang muda ini ketika menyambut batu karang. Jauh lebih hebat dari pada ilmu pukulan Gelap Musti, tidak mengandung hawa panas lagi, akan tetapi mengandung kekuatan yang tak terukur besamya. Itulah aji kesaktian yang disebut ilmu Pethit Nogo (Ekor Maga) yang menjadi ilmu simpanan dari Resi Bhargowo. Dengan ilmu Pethit Nogo inilah puluhan tahun yang lalu Resi Bhargowo membuat nama besar. Dan hanya kepada Pujo seorang ilmu ini diturunkan, bahkan kepada putrinya sendiripun tidak. Tidak sembarang orang dapat menerima aji ini, karena banyak yang takkan kuat menahan. Dan ilmu inipun merupakan ilmu simpanan yang takkan dipergunakan kalau tidak terpaksa. Sebetulnya, serangan batu karang yang dilontarkan itu tidaklah berbahaya bagi seorang pendekar seperti Pujo, dan tanpa penggunaan Pethit Nogo sekalipun ia tentu akan sanggup menghindar. Akan tetapi, Pujo sedang marah dan gelisah melihat istrinya, maka dalam kemarahannya itu ia menghajar batu karang yang menyambamya.

Raden Wisangjiwo sendiri terkejut setengah mati ketika melihat cahaya menyilaukan seperti keluar dari tangan Pujo, menyambar batu karang dan menghancurkannya. Maklumlah, ia bahwa Pujo benar-benar merupakan lawan yang amat berat, maka cepat ia meloloskan senjatanya dari pinggang sambil menyimpan Kerang Merahnya. Di lain saat tangannya sudah memegang sebatang cambuk berwama hitam dengan lorek-lorek putih seperti ular belang bandot, kemudian ia menggerakkan cambuk itu ke atas kepalanya.

''Tar-tar-tar!''

Ledakan-ledakan seperti halilintar menyambar dan batu karang di langit-langit guha yang terkena ujung cambuk rontok semua berhamburan. Inilah, ilmu Cambuk Sarpokenoko yang merupakan inti darl pada kesaktian Ni Durgogini, yang sudah menurun kepada murid tunggalnya yang terkasih.

"Hemm, Raden Wisangjiwo, sesungguhnya di antara kita tidak terdapat permusuhan mengapa, engkau begini mendesakku, bahkan telah melukai istriku? Aku mengenal cambukmu, apakah kau benar-benar hendak mengadu nyawa?''

''Pengecut Pujo, tak usah banyak cerewet. Saat ini kematianmu sudah di depan mata. Kau mampus dan isterimu menjadi milikku semalam suntuk.”

''Keparat!''

Pujo marah sekall dan menerjang ke depan dengan tangan terbuka. Biasanya dalam ilmu silat pukulan tangan terbuka dilakukan dengan jari-jari tangan saling berapatan dan ibu jari ditekuk ke dalam. Akan tetapi ilmu Pethit Nogo lain lagi, mempunyai keistimewaan tersendiri. Ilmu Pethit Nogo ini bukan mengandalkan keampuhannya pada pukulan tangan miring atau keampuhan epek-epek (telapakan) tangan. Melainkan, mendasarkan keampuhannya pada ujung-ujung jari tangan. Ujung-ujung jari tangan inilah yang menjadi pethit (ekor) naga. Oleh karena itu, jari-jari itu tidak merapat satu kepada yang lain, melainkan terpisah seperti kaki burung garuda, namun lurus-lurus tidak melengkung atau mencengkeram.

''Tar-tar! Wesss Ciuuuttt!"

Cambuk Sarpokenoko benar-benar ampuh sekali, ketika diputar membentuk bayang-bayang hitam namun dayanya seperti halilintar menyambar, hawa pukulannya saja sudah terasa panas dan kalau mengenal tubuh manusia, konon akibatnya seperti sambaran petir, kulit tubuh bisa mlonyoh seperti tersiram air mendidih.

NAMUN, Pujo sudah cukup waspada. la cepat mempergunakan aji Bayu Tantra sehingga tubuhnya menjadi ringan seperti sehelai daun dan cepat seperti angin, kemanapun juga ujung cambuk lawan menerjang, tubuhnya sudah mendahului berpindah tempat. Kadang-kadang, kedua tangannya yang mainkan ilmu silat Pethit Nogo menyambar dengan serangan balasan yang dahsyat. Bahkan jari-jari tangan yang sudah kemasukan Aji Pethit Nogo, kadang-kadang berani menangkap ujung cambuk dan begitu bertemu, ujung cambuk seperti menghantam karet, terpental kembali memukul pemegangnya.

Raden Wisangjiwo makin penakaran dan marah. Beberapa kali hampir saja ia termakan jari-jari tangan ampuh itu, karena setiap kali menyerang, gerakan lawannya cepat sekali membuat ia repot dan hampir tidak mendapat kesempatan mengelak. Maklum bahwa ia tak dapat mengatasi kehebatan lawan hanya dengan ilmu Cambuk Sarpokenoko, dengan kemarahan meluap-luap Raden Wisangjiwo lalu memindahkan cambuk ke tangan kiri, tangan kanannya mengeluarkan Kerang Merah dan mulailah ia menggunakan ajinya Tirto Rudiro di samping ilmu Cambuk Sarpokenoko. Bukan main hebatnya pertandingan antara dua orang muda murid guru-guru yang sakti ini.

Setengah jam lebih mereka bertanding, dan mulut gua sudah mulai gelap. Raden Wisangjiwo berseru keras ketika tangan kanannya memukulkan aji Tirto Rudiro. Ketika Pujo menggunakan tangan kiri menangkis, cambuknya sudah menyambar dengan cara melibat dari belakang, mengarah leher lawan. Pujo tak sempat mengelak karena lengan kirinya masih "lekat" dengan lengan kanan lawan, maka cepat ia menundukkan kepala dan tangan kanannya menangkap ujung cambuk. Hebat cengkeraman tangan dengan jari-jari yang merupakan Pethit Nogo ini, sekali ia mengerahkan tenaga membetot, terdengar suara keras dan cambuk itu patah ujungnya.

Raden Wisangjiwo kaget, kembali tangan kanannya memukul, namun tertangkis tangan kiri dan pada saat itu Pujo sudah menggunakan tangan kanannya menampar pundaknya.

"Plakkkk!"

Kelihatannya perlahan saja jari-jari tangan kanan Pujo menyentuh pundak, akan tetapi akibatnya hebat karena inilah pukulan Pethit Nogo.

"Aduuhhhh......!"

Raden Wisangjiwo berseru kesakitan, tubuhnya terlempar dan sekali lagi terbanting pada dinding gua. Pujo tidak memperdulikannya lagi, melainkan cepat-cepat ia menghampiri istrinya. Kartikosari sudah siuman, akan tetapi wanita ini merasa betapa isi dadanya panas seperti terbakar, kepalanya pening dan seluruh tubuhnya sakit-sakit. Maka ia telah duduk bersila, tidak berani membagi perhatian ke luar, melainkan mengeraskannya ke dalam untuk mengumpulkan hawa murni dan menghalau hawa beracun yang mengeram di dalam tubuhnya.

Bersambung...

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment